Kota Bandung-Detik1News
Yayasan Kebudayaan Rancage kembali menggelar diskusi kebudayaan selama dua hari (30-31 Januari) di Jalan Garut, membahas masa depan sastra Sunda dan mencari terobosan untuk meningkatkan minat baca di kalangan generasi muda.
Diskusi ini mengungkap tantangan besar yang dihadapi sastra Sunda, di mana minat membaca karya sastra daerah masih cenderung lahir dari kewajiban akademik, bukan kesadaran budaya. Ketua Yayasan Rancage, Bu Eti, menegaskan perlunya strategi baru agar sastra Sunda bisa lebih diminati secara alami, bukan sekadar karena tugas dosen atau kewajiban sekolah.
Sebagai solusi awal, Rancage mendorong keterlibatan komunitas non-sastra dalam berbagai kegiatan budaya. Dengan cara ini, diharapkan apresiasi terhadap sastra Sunda dapat tumbuh lebih luas sebelum melangkah ke riset mendalam tentang kebiasaan membaca di era digital.
Dalam catatan sejarah, upaya pelestarian sastra Sunda telah berlangsung lama. Beberapa forum penting seperti Konferensi Internasional Budaya Sunda (2001, 2011, 2021) dan Kongres Bahasa Daerah Nusantara telah menjadi ajang diskusi untuk menguatkan eksistensi bahasa dan sastra daerah. Yayasan Rancage sendiri telah rutin menganugerahkan Hadiah Sastra Rancage sejak 1989 dan Hadiah Hardjapamekas bagi guru bahasa Sunda yang inovatif.
Namun, di tengah arus digitalisasi, sastra Sunda menghadapi tantangan baru. Meski jumlah karya meningkat berkat media sosial, aspek kualitas masih menjadi pekerjaan rumah. Maraknya penerbitan buku secara mandiri tanpa kurasi memperumit situasi. Di sisi lain, ketatnya regulasi ISBN membuat penerbitan sastra daerah semakin sulit.
Menjawab tantangan ini, Yayasan Rancage tengah merancang Rancage Pedia, platform digital serupa Wikipedia yang akan mendokumentasikan sastra Sunda dan karya sastra daerah lain yang pernah meraih penghargaan Rancage.
Salah satu contoh sukses datang dari Bali, di mana regenerasi sastrawan daerah lebih aktif. Banyak penulis muda terus berkarya, didukung oleh penyuluh bahasa Bali yang dibiayai pemerintah. Keberlanjutan budaya di Bali juga terbantu oleh eratnya hubungan sastra dengan sektor pariwisata dan agama. Sementara itu, sastra Sunda masih didominasi generasi yang lebih tua, sehingga perlu strategi agar lebih relevan bagi anak muda.
Diskusi ini menegaskan pentingnya langkah konkret dari pemerintah dan komunitas budaya untuk menghidupkan sastra Sunda di luar ranah akademik. Apakah melalui digitalisasi, penguatan pendidikan sastra di sekolah, atau pemberian insentif bagi sastrawan, satu hal yang jelas: sastra daerah harus terus berkembang agar identitas budaya tetap terjaga di tengah arus zaman.
Andi Setiawan