Oleh Khairul Amri Ismail
Mahasiswa Program Doktor Filsafat Hukum Universitas Islam Sultan Syarif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam.
Pandangan Yulizar Kasma yang berasumsi bahwa Tu Sop akan menjadi sebagai “pelengkap derita” menunjukkan kurang kejelian Yulizar dalam memahami bagaimana peran ulama dalam struktur politik yang lebih luas. Perspektif ini tampak sebagai hasil dari analisis yang dangkal dan terlalu fokus pada aspek administratif semata, tanpa mempertimbangkan kompleksitas dan kedalaman peran ulama dalam politik.
Yulizar Kasma gagal memahami bahwa kepemimpinan ulama harus dinilai tidak hanya berdasarkan posisi formal tetapi juga dari pengaruhnya dalam membentuk kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip etika dan moral.
Ocehan Yulizar Kasma yang menyederhanakan kepemimpinan ulama hingga ke fungsi administratif menggambarkan betapa kurangnya pemahaman mendalam tentang dinamika kekuasaan dan pengaruh yang sebenarnya.
Penilaian Yulizar yang menyebut Tu Sop sebagai ulama yang “akan terpinggirkan” menunjukkan keterbatasan dalam pemahaman historis dan strategis mengenai peran ulama dalam politik. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa kekuatan ulama tidak terbatas pada posisi administratif tetapi mencakup dimensi pengaruh yang lebih luas. Ketidakmampuan Yulizar untuk melihat dimensi ini menandakan bahwa pandangannya terlalu terjebak dalam perspektif yang rigid dan ketinggalan zaman.
Penilaian pesimistis Yulizar bahwa Tu Sop akan “terbakar” atau “lenyap” dalam posisi Wakil Gubernur mengungkapkan penyederhanaan ontologis yang jelas. Dalam hal ini, Yulizar lupa bahwa kekuasaan tidak dapat diukur hanya dari posisi formal.
Sebaliknya, kekuatan ulama terletak pada kemampuannya untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara efektif. Pandangan Yulizar yang hanya melihat kekuasaan dalam konteks jabatan administratif menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami kedalaman pengaruh ulama dalam konteks yang lebih luas.
Saran Yulizar agar Tu Sop lebih baik mencalonkan diri sebagai “Bupati di Bireuen, daripada sebagai Wakil Gubernur”, mencerminkan pandangan strategis yang sangat cetek. Bentuk kegagalan pandangan politik Yulizar di sini adalah Yulizar tidak dapat memahami bahwa sebenarnya hikmah dan strategi politik mendorong untuk memilih posisi yang dapat memaksimalkan dampak dan pengaruh yang lebih luas.
Saran Yulizar untuk mengambil posisi yang lebih rendah menandakan kurangnya visi strategis dan ketidakmampuan untuk memahami potensi Tu Sop di tingkat yang lebih tinggi. Hal ini memperlihatkan bagaimana pandangan Yulizar yang begitu dangkal serta tidak adaptif dalam memahami dinamika politik yang sedang terjadi.
Pandangan pesimistis Yulizar Kasma tentang Tu Sop, yang menganggap kemenangan atau kekalahan akan membuat Tu Sop “menjadi arang atau abu,” menunjukkan bahwa ia telah menjengkali kekuatan psikologis ulama dalam hal politik, adakah Yulizar seorang pengamat professional..? Tentu dia adalah individu yang psikologisnya sedang terganggu.
Justru menunjukkan ketidakberaniannya menghadapi gelombang politik dengan sikap yang lebih adaptif dan berani, sehingga dia cenderung terjebak dalam pola pikir sempit yang tidak mampu untuk menangkap esensi kekuatan internal dan fleksibilitas ulama dalam menghadapi dinamika politik yang saat dalam keadaan bahaya.
Akhirnya pandangan Yulizar Kasma mengenai Tu Sop mencerminkan kegagalan mendasar dalam menilai peran dan pengaruh ulama dalam kancah politik Aceh. Dengan meremehkan potensi Tu Sop dan mengabaikan dimensi moral serta strategis dari kepemimpinan ulama, Yulizar menunjukkan betapa kurangnya pemahaman substansial terhadap prinsip-prinsip kekuasaan dan pengaruh yang lebih mendalam dan luas.
Keterbatasan ini menandakan kebutuhan mendesak agar Yulizar Kasma belajar lagi tentang realpolitik dengan meningkatkan etika dan pengetahuan strategi politik yang lebih dinamis, karna Yulizar Kasma telah menunjukkan seberapa jauh pandangannya terputus dari realitas politik yang komprehensif.